Pitres Sombowadile |
Banjir Manado, Rabu 15 Januari 2014 |
Oleh: Pitres Sombowadile
Atas dasar pemahaman topografi Sulawesi Utara yang bergunung dan sangat
berbukit adalah galib membangun kerjasama antara daerah-daerah gunung
dengan daerah-daerah pesisir. Jika kerjasama itu tidak terjadi, atau
jika koordinasi antara dua pihak ini macet, kedua pihak inilah
sepantasnya yang dipersalahkan. Juga, karena dalam tata pemerintahan
daerah, yang memegang kendali koordinasi
antar daerah adalah pihak pemerintah provinsi, pihak ini pun pantas
disalahkan saat koordinasi antar pemerintah tidak jalan. Ini menjadi
sangat relevan terkait dengan antisipasi bencana. Banjir dan
longsor yang terjadi beberapa hari lalu di Manado, Minut, Tomohon,
Minahasa dan Minsel itu pantas juga dipahami sebagai akibat dari
hilangnya kerjasama dan koordinasi antara daerah gunung dan daerah
pesisir itu. Bencana 15 Januari 2014 itu hakikinya terjadi dalam dua bentuk, yaitu longsor dan banjir. Bentuk ketiganya adalah campuran keduanya, yaitu banjir bandang. Pada kasus banjir bandang, yang datang menerjang bukan lagi air semata, tetapi air yang sudah bercampur tanah hasil longsoran; ditambah berbagai barang yang tergaet dalam perjalanannya, seperti batang pohon dan bebatuan. Tak heran daya pukul banjir bandang menjadi sangat besar, sangat merajalela, sekaligus sangat mematikan. Di daerah sekitar Manado, banjir yang paling parah ternyata terjadi akibat melubernya massa air sungai ke daerah-daerah sekitar aliran sungainya. Tingkat luberannya memang sangat besar, karena ‘bangkitnya’ tingkat curah hujan yang sangat tinggi, akibat sangat lamanya waktu hujan intesif, serta derasnya jatuhan butir hujan.
Maka, guyuran air yang sangat besar itu di Kota Manado bukan saja mampu merendam wilayahnya, namun juga meluluhlantakkan daerah-daerah yang selama tiga perempat abad terakhir tidak dianggap sebagai wilayah yang rentan kena banjir. Apalagi tidak bekerjanya daerah-daerah resapan air, karena telah terlanjur dipakai untuk pemukiman dan perkebunan, maka aliran massa air yang demikian besar itu tidak tertahankan meluncur sepenuhnya ke arah pesisir dan menerjang batas-batas jalur alirannya. Alhasilnya, longsor, banjir dan banjir bandang. Massa air yang keluar dari jalur aliran itu menerjang dan tidak terbendung. Karena itu menjadi rekomendasi pertama yang tidak bisa ditundakan pasca bencana banjir ini adalah bagaimana mengamankan aliran sungai, misalnya secara alami dengan membangun sabuk jalur hijau yang ketat.
Hal lain yang luput dari pembahasan adalah perlunya kerjasama antar daerah dalam penangkalan dan penanganan banjir. Banjir jelas tidak mengenal batas-batas wilayah administrasi. Penanganannya harus dilakukan oleh pihak yang memegang tugas dan kendali koordinasi antar daerah. Daerah-daerah yang dilewati aliran sungai tentu berharap yang mengalir di daerahnya adalah apa yang kita sebut saja ‘air damai’. Bukan ‘air bahaya’ yaitu banjir atau banjir bandang. ‘Air damai’ itu dapat berupa pasokan air jernih untuk kebutuhan air bersih di daerah-daerah pesisir. ‘Air damai’ itu juga dapat menjadi air untuk membangkitkan pembangkit listrik hydro dan micro hydro.
Namun masalahnya, ‘air damai’ itu hanya dapat dipelihara jika sumber hutan penyangga air di hilir (daerah gunung) benar-benar terjaga. Pada saat daerah-daerah gunung berkepentingan untuk membangun daerahnya, katakan untuk perkebunan besar, maka banyak daerah hutan yang terpaksa harus dirombak. Ekologi memang selalu menjadi kurban pertama dari ambisi ekonomi. Risiko ekologisnya selalu adalah terjadinya bencana lingkungan dengan berbagai skala.
Bagi daerah gunung, bagaimana hutan tidak akan dirombaknya kalau ‘air damai’ yang diciptakannya ternyata tidak menghasilkan apa-apa baginya. Karena memang daerah gunung tidak mendapatkan ‘bagian dana’ dari air bersih yang dikirimkannya ke kota-kota pesisir yang dikelola serta dijual oleh perusahaan air minum. Daerah gunung juga tidak memungut sepeserpun untuk ‘air damai’ yang ikut dibangun dari wilayahnya untuk pembangkit listrik bagi kebutuhan kota-kota pesisir. Maka, jalan pintas sadar atau tidak sadar terjadi daerah hutan rentan dibabat untuk kebutuhan proyek atau program pembangunan lain. Atau dibabat untuk tujuan ekonomi orang-orang daerah-daerah Gunung. Itu artinya, daerah-daerah hulu atau pesisir segeralah bersiap-siap akan dikirim ‘air bahaya’.
Dalam pemahaman kerjasama gunung dan pesisir untuk menangkal bencana itu pantas dikembangkan kerjasama dimana setiap pungutan air bersih di daerah pesisir (baik air bersih PDAM dan listrik) ikut dibayarkan porsi tertentunya ke daerah-daerah gunung. Dengannya, daerah gunung diberi insentif dan diminta untuk menjaga hutan. Di samping itu, berkaitan dengan program lingkungan, secara khusus pelestarian hutan, semua daerah akan mengembangkan mekanisme pembiayaan program lingkungan secara bersama (co-financing) yang akan dilaksanakan oleh pemerintah gunung. Dananya harus menjadi insentif untuk menjaga lingkungan hutan. Bencana kemarin itu harus melecut kreativitas governance kita.